Nama lengkapnya Amar bin Qanbar Abu Bisyr, digelar dengan nama Sibawaih (180H/796). Dia kelahiran asli negara Persia, yaitu di kota Baidha. Kemudian ia bersama keluarganya hijrah ke kota Basrah, dan di sana ia tumbuh besar di dalam lingkungan ilmiah. Ilmu pengetahuan pertama yang dia pelajari adalah fekah dan hadis. Sibawaih mempelajari hadis daripada Hamad bin Sahnah. Pada suatu hari, Sibawaih menerima diktean hadis dari gurunya, Hamad yang berbunyi :
لَيْسَ مِنْ أَصْحَابِي إِلاَّ مَنْ لَوْ شِئْتَ لأَخَذْتُ عَلَيْهِ لَيْسَ أَبَا الدَّرْدَاءِ
Sibawaih langsung menegur gurunya sambil berkata : لَيْسَ أَبُوْ الدَّرْدَاءِ. dia menduga lafazh Abu Darda adalah isim laisa. Gurunya langsung menimpali ; “kamu salah wahai Sibawaih. Bukan itu yang kamu maksudkan, tetapi lafazh laisa di sina adalah istitsna!”. Maka Sibawaih langsung berkata: “Tentu aku akan mencari ilmu, di mana aku tidak akan salah membaca.” Akhirnya Sibawaih belajar ilmu nahwu kepada Khalil sampai menjadi ilmuwan terkenal.Kisah ini mengisahkan, bahawa suatu ketika Sibawaih bersama jamaah lainnya sedang menulis suatu hadis Nabi, sementara gurunya, Hamad sedang mendiktekan hadis mengenai kisah Shafa: صَعَدَ رَسُوْلُ اللهِ الصَّفَا (Rasulullah turun di tanah Shafa). Sibawaih langsung menyanggahnya dan berkata الصَّفَاءَ. Maka gurunya berkata : “Wahai orang Persia, jangan katakan “Ash-Shafa’a”, kerana kalimah Ash-Shafa’a adalah isim maqshur”. Ketika pengajian selesai, Sibawaih langsung memecahkan penanya, sembari berkata: “Aku tidak akan menulis suatu ilmu pengetahuan samapai aku dapat mematangkan dahulu dalam bidang bahasa Arab.” Mungkin, hikmah di sebalik dua kejadian itulah yang membuat Sibawaih sangat serius mempelajari nahwu, dan akhirnya menjadi pakar ilmu nahwu yang terkenal.
Guru Sibawaih dalam bidang nahwu adalah Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi. Beliau adalah guru besar Sibawaih, sementara Khalil sendiri adalah murid Abu Amr bin al-A’Ala, seorang ahli qira’at saba’ah.
Sibawaih pernah berdebat dengan Imam Kisa’i, tokoh ulama Kufah. Pada saat itu Sibawaih hendak pergi ke Kota Baghdad pada masa Raja Harun Ar-Rasyid dan menteri Yahya bin Khalid al-Barmaki. Sibawaih meminta menteri Yahya agar dapat mempertemukan dia dengan al-Kisa’i. maka Yahya menasihatinya agar ia tidak melakukan itu. Namun Sibawaih berkeras ingin bertemu dan sekaligus mengajak berdebat terbuka. Acara pertemuan itu di adakan di rumah Harun Ar-Rasyid. Melainkan, bahawa sebelum al-Kisa’i menemuinya, Sibawaih sudah terlebih dahulu dihadapi oleh murid-murid al-Kisa’i. Di antara mereka adalah al-Ahmar. Hisyam, dan al-Fara. Kemudian mereka berdebat dengannya sebelum al-Kisa’i bertemu, kerana mereka melakukan hal yang demikian adalah untuk menjatuhkan syaukah (kekuatan mental) Sibawaih. Lalu tidak lama al-Kisa’i mengadap dan berdebat dengannya dalam masalah terkenal pada masa itu, yaitu masalah “Zumburiyah”.
Sibawaih menang di dalam perdebatan tersebut. Kemudian Yahya al-Barmaki memberi hadiah kepadanya sebesar sepuluh ribu dirham dari saku peribadinya. Maka dari mulai itulah Sibawaih menjadi orang yang terkenal. Kemudian tidak lama ia pindah ke kota Ahwaz dan wafat di sana. Menurut Riwayat lain mengatakan bahawa Sibawaih wafat di Syiraz, Iran. Dia wafat pada saat usianya yang muda. Nama Sibawaih berasal dari bahasa asli Persia yang berarti semangka yang harum.
Banyak kitab yang menulis tentang bibliografi Sibawaih, di antaranya kitab karya Ahmad Badawi, yaitu kitab Sibawaih: Hayatuhu wa Kitabuhu, dan penulis Ali an-Najedi Nashif, yaitu kitab Sibawaih Imam an-Nuhat. Antara karya agungnya adalah al-Kitab atau Kitab Sibawaih merupakan puncak tata bahasa Arab dibukukan melalui kitab karyanya itu. Mungkin dapat dikatakan bahawa, al-Kitab atau Kitab Sibawaih merupakan sebuah kitab referensi pertama (sumber rujukan pertama) yang menghimpunkan tata bahasa Arab secara lengkap.
MasyaAllah…. Ta’ajjub sungguh apabila merenung al-kisah tokoh nahwu ini, jauhnya ilmu dan hemah kita dari kalangan mereka. Bertapa besar kemulian Allah SWT telah melimpah kepada kalangan mereka bertapa beruntung apabila kita mengambil manfaat dan pendekatannya.
Sepertima kata Syeikh Saiyyidi Madi Abu A’zaim : “Lapangkanlah waktu kamu untuk mengigati akan jasa-jasa ulama’-ulama’ terdahulu”.
Mengenali para ulama’ adalah akan menambahkan kecintaan kita pada mereka. Maka dengan kecintaaan inilah yang kan menghidupkan hati-hati mukmin sejati. Kecintaan kepada mereka adalah berpautan dan saling bersangkutan dengan cinta kepada Rasulullah SAW. Hal ini kerana Rasulullah SAW telah menjelaskan : “Ulama’ itu adalah pewaris nabi ”.
Mencintai warisan para Nabi a.s juga seumpama kita mengasihi mereka.
Imam Syafie Ra pernah menjelaskan :
“Aku mencintai orang-orang soleh dan bukan aku sebahagian daripada mereka, Aku berharap agar mendapat syafaat kerana mereka”.
“Ya Tuhanku…. jadikanlah segala perbuatan dan perkataan kami IKHLAS untuk menuntut keredhaanMU yang mulia dengan kehormatan Al-Quran Al-‘Azim. Nabi yang mulia. Sekelian sahabat dan hamba-hambaMU yang soleh.” (Doa Saiyid Ahmad Idris ).
“Ya Tuhanku… jadikan kami sebahagian orang yang mendapat ilmuMu yang luas... Kuatkan kami dalam meneruskan dan mendalaminya…. Sesungguhnya Hati ini senantiasa berbolak balik atas nikmatMu. “Wahai Tuhanku engkaulah tujuanku, keredhaa-Mulah tuntutanku, anugerahilahdaku kasih cinta padaMU dan sebenar-benar mengenaiMu, Ya Allah…. Ya Allah…. Ya Allah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan