Khamis, 31 Mac 2011

Taukid





Arti Taukid
Tabi' (lafazh yang mengikuti) yang berfungsi untuk melenyapkan anggapan lain yang berkaitan dengan lafazh yang di-taukid-kan.
Contoh:
 = Zaid telah datang sendiri.
Lafazh  berkedudukan sebagai taukid yang mengukuhkan makna Zaidun, sebab kalau tidak memakai  , maka ada kemungkinan yang datang itu utusan Zaid, bukan Zaid-nya, dan sebagainya.
Taukid itu mengikuti kepada lafazh yang di-taukid-kan dalam hal rafa', nashab, khafadh dan ta'rif (ke-ma'rifat-an) nya.
Taukid itu dengan memakai lafazh-lafazh yang telah ditentukan, yaitu:
  1. Lafazh nafsu (diri), seperti dalam contoh:  (Zaid telah datang sendiri)
  2. Lafazh 'ain (diri), seperti dalam contoh:  (Zaid telah datang sendiri)
  3. Lafazh kullu (semua), seperti dalam contoh:  (kaum itu telah datang semuanya)
  4. Lafazh ajma'u (seluruh), seperti dalam contoh:  (kaum itu telah datang seluruhnya)
  5. Lafazh yang mengikuti ajma'u, yaitu: akta'u, abta'u, absha'u (maknanya sama dengan ajma'u atau ajma'în), seperti dalam contoh berikut: 
Faedah memakai lafazh-lafazh itu ialah, untuk menambah maksud taukid saja agar tidak diragukan.
Seperti perkataan:
 = Zaid telah berdiri sendiri;
 = aku telah melihat kaum itu semuanya;
 = aku telah bersua dengan seluruh kaum itu.
Kata Nazhim:
Boleh pada isim dikukuhkan dan lafazh yang mengukuhkan harus mengikuti lafazh yang dikukuhkannya dalam semua bentuk i'rab dan ta'rif (ma'rifat)nya, tidak di-nakirah-kan karena ia terbebas dari lafazh yang mengukuhkan.
Lafazh taukid yang terkenal ada empat, yaitu: nafsu, 'ain, kullu dan ajma'u.
Selain lafazh itu adalah mengikuti ajma'u, yaitu akta'u, abta'u, dan absha'u,

TEKNIK BERKESAN UNTUK MENGHAFAL AL-QUR’AN


Segala puji Bagi Allah Rabb semesta alam, selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad s.a.w. Di kesempatan ini, ingin kami mengemukakan cara termudah untuk menghafaz Al-Qur’an. Keistimewaan teori ini adalah hafalan yang mantap akan diperolehi, selain daripada singkatnya waktu yang bakal ditempuh untuk mengkhatamkan seluruh Al-Quran. Teori ini sangat mudah untuk dipraktikkan dan insya Allah amat membantu bagi sesiapa sahaja yang ingin menghafaznya. Berikut, kami bawakan contoh dalam mempraktikkannya:
Misalnya, jika anda ingin menghafaz surat An-Nisa, maka anda bolehlah mengikuti teori berikut ini:
1- Bacalah ayat pertama 20 kali:

2- Bacalah ayat kedua 20 kali:

3- Bacalah ayat ketiga 20 kali:

4- Bacalah ayat keempat 20 kali:

5- Kemudian membaca 4 ayat diatas dari awal hingga akhirmenggabungkannya sebanyak 20 kali.
6- Bacalah ayat kelima 20 kali:

7- Bacalah ayat keenam 20 kali:

8- Bacalah ayat ketujuh 20 kali:

9- Bacalah ayat kelapan 20 kali:
10- Kemudian membaca ayat ke 5 hingga ayat ke 8 untuk menggabungkannyasebanyak 20 kali.
11- Bacalah ayat ke 1 hingga ayat ke 8 sebanyak 20 kali untuk memantapkan hafalannya.
Demikianlah seterusnya hingga selesai seluruh Al-Quran.

Perlu diingat
, jangan sampai menghafaz dalam sehari lebih dari satu perlapan juzu’ agar tidak berat bagi anda untuk mengulang dan menjaganya.

semoga kita dapat praktikkan… 

Akan bersambung dengan tajuk: BAGAIMANA CARA MENAMBAH HAFALAN PADA HARI BERIKUTNYA?
Sumber:
1. Dr. Abdul Muhsin Al Qasim (Imam dan Khatib Masjid Nabawi). Terjemahan: Team Indonesia – Abu Ziyad. 1428 H -2007. CARA PRAKTIS MENGHAFAL AL-QUR’AN (أسهل طريقة لحفظ القرءان الكريم). Riyadh : المكتب التعاون للدعوة وتوعية الجاليات بالربوة بمدينة الرياض

Kitab Jurumiyyah(Nahwu)




Jurumiyyah merupakan sebuah cabang ilmu dalam agama Islam bernama Ilmu Nahwu. Nahwu dikenal juga sebagai bapaknya ilmu, di karenakan nahwu merupakan sebuah ilmu alat untuk membaca tulisan-tulisan arab. Jurumiyyah merupakan sebuah kitab tipis yang biasa diguakan untuk memahami ilmu nahwu bagi tingkat pemula.
Ilmu Nahwu dipelopori oleh seorang bernama Abu Aswad Ad Duali. Berawal dari pertanyaan yang ia lontarkan pada anaknya di suatu malam. Beliau heran dan tak lazim mendengar jawaban yang diberi anaknya atas pertanyaan yang dilontarkan, sebab tak sesuai dengan susunan kata dan penempatan yang semestinya. Jawaban sang anak memang benar, akan tetapi jawban tersebut bias menghasilkan makna lain yang kurang pas maknanya. Dari sinilah Abu Aswad Ad Duali memulai menyusun Ilmu Nahwu tersebut.
Jurumiyyah adalah kitab nahwu dasar yang di karang ole Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad As Sonhaji. Pada saat Jurumiyyah selesai di tulis beliau mencaburkan kitab tersebut ke dalam air, ajaibnya tinta tulisan kitab tersebut tak luntur sama sekali walaupun kertasnya basah.
Kitab Jurumyyah terdiri dari beberapa bab, awal bab di dahului dengan bab kalam laluI’rab, dan teru hingga di akhiri bab makhfudhotil asma. Selain Jurumiyyah masih banyak kitab nahwu lainnya seperti ‘imrithi oleh Syarifuddin Yahya Al ‘Imrithi, dan Alfiyyah Ibn Malik oleh Ibnu Malik Al Andalusi, seorang berkebangsaan Spanyol.

Abu Al Aswad (Pengarang Ilmu Nahwu)

Nama dan kelahiran beliau
Nama aslinya yang paling terkenal adalah Zhalim bin Amr, beliau sering dikenal atau dipanggil dengan Abu Al Aswad Ad Du’ali rahimahullah, ada pula yang mengatakan Ad Dili, Al Allamah, Al Fadhil, Qadhi Bashrah.
Beliau rahimahullah dilahirkan pada masa kenabian.
Ucapan Para Ulama tentang Beliau
Ahmad Al Ijli berkata, “Dia tsiqah (terpercaya) dan orang yang pertama kali berbicara tentang ilmu nahwu”.
Al Waqidi berkata, “Dia masuk Islam pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup.”
Orang lain berkata, “Abu Al Aswad Ad Du’ali ikut perang Jamal bersama Ali bin Abu Thalib, dan dia termasuk pembesar kelompok Syi’ah dan orang yang paling sempurna akal serta pendapatnya di antara mereka. Ali radhiallahu ‘anhu telah menyuruhnya meletakkan dasar-dasar ilmu nahwu ketika beliau mendengar kecerdasannya.”
Al Waqidi berkata, “Lalu Abu Al Aswad menunjukkan kepadanya apa yang telah ditulisnya,” Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Alangkah baiknya nahwu yang kamu tulis ini.”
Dan diriwayatkan pula bahwa dari situlah ilmu nahwu disebut ‘nahwu’.
Muhammad bin Salam Al Jumahi berkata, “Abu Al Aswad Ad Du’ali adalah orang yang pertama kali meletakkan bab Fa’il, Maf’ul, Mudhaf, Huruf Rafa’, Nashab, Jar, dan Jazm. Yahya bin Ya’mar lalu belajar tentangnya.”
Al Mubarrad berkata, Al Mazini menceritakan kepadaku, dia berkata, “Sebab yang melatarbelakangi diletakkannya ilmu nahwu adalah karena Bintu Abu Al Aswad (anak perempuan Abu Al Aswad) berkata kepadanya, ‘Maa asyaddu Al Harri (alangkah panasnya)Abu Al Aswad lalu berkata, Al Hasyba Ar Ramadha’ (awan hitam yang sangat panas)’ anak perempuan Abu Al Aswad berkata, ‘aku takjub karena terlalu panasnya’. Abu Al Aswad berkata, ‘Ataukah orang-orang telah biasa mengucapkannya ?’. lalu Abu Al Aswad mengabarkan hal itu kepada Ali bin Abu Thalib, lalu dia memberikan dasar-dasar nahwu kepadanya dan dia meneruskannya. Dialah pula orang yang pertama kali meletakkan titik pada huruf.”
Al Jahizh berkata, “Abu Al Aswad adalah pemuka dalam tingkat sosial manusia. Dia termasuk kalangan ahli fiqih, penyair, ahli hadits, orang mulia, kesatria berkuda, pemimpin, orang cerdas, ahli nahwu, orang syiah, sekaligus orang bakhil. Dia botak bagian depan kepalanya.”
Wafatnya
Abu Al Aswad meninggal karena wabah ganas yang terjadi pada tahun 69 Hijriyah dalam usia 85 tahun.
Sumber : Ringkasan Syiar A’lam An-Nubala’, karya Imam Adz-Dzahabi. Cet, Pustaka Azzam. Hal : 742-743

FILSAFAT ILMU NAHWU

Dalam kitab “Al Kawakib Al Durriyah” diceritakan, Syeikh Imam Al-Sonhaji, pengarang sebuah kitab nahwu, tatkala telah rampung menulis sebuah buku tentang kaidah nahwu yang ditulisnya dengan menggunakan sebuah tinta, beliau mempunyaiazam untuk meletakkan karyanya tersebut di dalam air. Dengan segala sifat kewara’annya dan ketawakkalannya yang tinggi, beliau berkata dalam dirinya: “Ya Allah jika saja karyaku ini akan bermanfaat, maka jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak luntur di dalam air”. Ajaib, ternyata tinta yang tertulis pada lembaran kertas tersebut tidak luntur. Dalam riwayat lain disebutkan, ketika beliau merampungkan karya tulisnya tersebut, beliau berazam akan menenggelamkan tulisannya tersebut dalam air mengalir, dan jika kitab itu terbawa arus air berarti karya itu kurang bermanfaat. Namun bila ia tahan terhadap arus air, maka berarti ia akan tetap bertahan dikaji orang dan bermanfaat. Sambil meletakkan kitab itu pada air mengalir, beliau berkata : “Juruu Miyaah, juruu miyaah” (mengalirlah wahai air!). Anehnya, setelah kitab itu diletakkan pada air mengalir, kitab yang baru ditulis itu tetap pada tempatnya.
Itulah kitab matan “Al-Jurumiyah” karya Imam Al Sonhaji yang masih dipelajari hingga kini. Sebuah kitab kecil dan ringkas namun padat yang berisi kaidah-kaidah ilmu nahwu dan menjadi kitab rujukan para pelajar pemula dalam mendalami ilmu nahwu (kaidah bahasa Arab) di berbagai dunia. Selain ringkas, kitab mungil ini juga mudah dihafal oleh para pelajar.
Di sini penulis tidak hendak mengemukakan kaidah ilmu nahwu dengan segala pembagiannya. Yang akan penulis kemukakan adalah, bahwa di dalam kitab yang melulu membahas tata bahasa Arab, ternyata kalau dikaji lebih dalam lagi, ia memiliki filsafat-filsafat hidup dan nasehat yang sangat berharga bagi setiap generasi terutama bagi kita sebagai ummat Islam. Filsafat hidup yang termaktub dalam kitab itu sendiri merupakan “hukum” atas suatu kalam atau kalimat dalam ilmu nahwu. Berikut ini adalah contohnya:

Bersatu kita terhormat 

Dalam ilmu nahwu, “dhommah” adalah salah satu tanda dari tanda-tanda rofa”. Secara lafdziah kata dhommahberarti bersatu. Sedang kata rofaberarti tinggi. Maksudnya, bila kita dapat bersatu dengan sesama, dapat menjaga kesatuan dan persatuan, dapat mempererat tali ukhuwah, bukan tidak mungkin kita akan menjadi umat yang terhormat dan tinggi (rofa’) di antara bangsa dan umat lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :Bersatulah kalian pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian berpecah belah (Ali Imran: 103). Sementara untuk mendapatkan derajat tinggi harus memenuhi syarat, di antaranya adalah iman. Firman Allah SWT: Janganlah kalian merasa hina dan sedih, padahal kamu tinggi jika kamu beriman(Ali Imran: 139).
Ada beberapa keriteria sehingga orang bisa mendapatkan derajat rofa’ (tinggi). Sebagaimana dijelaskan dalam Al Jurumiyah, bahwa di antara kedudukan kalimat yang mendapat hukum rofa’ atau marfu’ (yang diberi penghargaan tinggi) adalah: fa’il, naib fa’il, mubtada’, khobar dan tawabi’ marfu(sesuatu yang mengikuti segala kalimat marfu’) seperti sifat (na’t), badal, taukid dan ‘atof. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Fa’il (aktivis). Bila kita ingin menjadi orang yang dihargai, tinggi dan tidak terhina, maka hendaklah kita berbuat, bekerja dan berusaha, tidak berpangku tangan atau hanya mengharap belas kasih orang lain. Hanya orang yang aktif dan pro aktiflah (fa’il) yang membuahkan karya-karya dan amal dan menjadi terhormat di lingkungannya. Firman Allah SWT: Dan katakanlah (hai Muhammad): Bekerjalah kalian! sesungguhnya pekerjaan kalian akan dilihat oleh Allah, RasulNya dan kaum mu’minin” (At Taubah : 105). Sabda Nabi Muhammad SAW: “ tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan di bawah(peminta)”.
2. Naib fa’il (mewakili tugas-tugas aktivis) adalah tipe kedua orang yang mendapat derajat tinggi. Meskipun ia berkedudukan sebagai wakil, tapi ia menjalankan pekerjaan yang dilakukan fa’il walau harus menjadi penderita dalam kedudukannya sebagai kalimat. Sebagai contoh dalam hal ini adalah sahabat Ali ra. Beliau pernah menggantikan Rasulullah di tempat tidurnya dengan resiko yang tinggi berupa pembunuhan yang akan dilakukan para pemuda musyrikin Makkah saat Rasulullah berencana melaksanakan hijrah ke Madinah. Contoh lain adalah para huffadz yang diutus Rasulullah untuk mengajarkan agama atas permintaan salah satu suku di jazirah Arab, namun nasib mereka naas dikhianati dan dibunuh para pengundang. Mendengar hal itu, Rasulullah pun membacakan do’a qunut nazilah sebagi rasa ta’ziyah. Dengan do’a dari Rasul tersebut, tentu saja mereka yang wafat mendapat kedudukan mulia di sisi Allah, juga oleh sejarah.
3. Mubtada (pioneer), orang yang pertama melahirkan ide-ide positif kemudian diaplikasikannya di tengah-tengah masyarakat sehingga berguna bagi kehidupan manusia adalah orang yang pantas mendapat derajat rofa’ (tinggi). Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: “ Barang siapa memulai sunnah hasanah (ide positif dan konstruktif) maka baginya pahala dan pahala orang yang melakukan ide (sunnah) tersebutAda pepatah Arab mengatakan demikian:

الفضل للمبتدئ وان أحسن المقتدى

“Perhargaan itu hanyalah milik orang pertama memulai, walaupun orang yang datang kemudian dapat melakukannya lebih baik
4. Khobar (informasi). Mereka yang memiliki khobar (informasi) itulah orang yang menguasai. Demikian salah satu ungkapan dalam ilmu komunikasi. Di dunia ini sebenarnya tidak ada orang yang lebih banyak ilmunya dari seorang lain. Yang ada adalah karena orang itu lebih banyak mendapatkan dan menyerap informasi dari lainnya. Membaca buku, apapun buku itu, sebenarnya kita sedang menyerap sebuah informasi. Dan sebanyak itu informasi yang kita dapatkan sebesar itu pula kadar maqam kita. Informasi dapat kita peroleh melalui berbagai cara, termasuk di dalamnya pengalaman.
5. Tawabi’ Marfu (Mereka yang mengikuti jejak langkah orang yang mendapat derajar tinggi). Jelas, siapa saja yang mengikuti langkah dan perjuangan mereka yang mendapat derajat tinggi, maka mereka akan dihargai. Allah berfirman:Sungguh dalam diri Rasulullah ada suri tauladan yang patut ditiru bagimu. Ayat ini menegaskan kepada kita untuk mengikuti Rasulullah yang telah mendapatkan maqoman mahmuda (kedudukan terpuji) di sisi Allah agar kita mendapat hal yang sama di sisiNya. Di samping itu, salah satu orang yang akan mendapat derajat tinggi adalah para penuntut ilmu. Firman Allah SWT : Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi ilmu dengan beberapa derajat (Al Mujadalah: 11). Ilmu adalah warisan para nabi, dan siapa yang mengikuti (tabi’) langkah nabi ia akan mendapat kehormatan (rofa’)

Berpecah Belah Adalah Kerendahan
Tanda kasroh dalam ilmu nahwu adalah salah satu tanda hukum khofadh. Secara harfiah, kata kasroh bermakna pecah atau perpecahan. Sedangkan kata khofadh bermakna kerendahan atau kehinaan. Dengan demikian suatu umat akan mengalami kerendahan dan kehinaan apabila mereka melakukan perpecahan, tidak bersatu dan tidak berukhuwah. Wajar saja bila para musuh menyantap dengan lahapnya kekayaan kaum (muslimin) disebabkan mereka tidak mau bersatu dan menjaga persatuan. Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad SAW empat belas abad lalu, tatkala beliau menyatakan bahwa suatu saat umat Islam akan menjadi santapan umat lain seperti srigala sedang menyantap makanan. Para sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kita sedikit ?” Rasul menjawab: “Tidak, justru kalian saat itu menjadi mayoritas, tapi kualitas kalian seperti buih. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari musush-musuh kalian kepada kalian dan Allah akan mencampakkan dalam diri kalian penyakit al-wahan”. Sahabat bertanya: “apakah penyakit al-wahan itu?” Rasul SAW menjawab: “cinta dunia dan takut mati”.
Dengan penyakit itulah, umat Islam mengalami perpecahan. Sebab yang diperjuangkan bukan lagi agama mereka, tetapi materi dan keduniaan yang pada akhirnya tidak lagi mengindahkan kekompakkan dan persatuan di antara sesama ummat Islam.
Di samping itu sifat buih, seberapa banyak dan sebesar apapun, ia akan terombang-ambing oleh angin yang meniupnya. Itulah tamsil umat Islam yang tidak memperkokoh persatuan.
Hal inilah yang diisyaratkan oleh Al-Sonhaji, bahwa penyebab segala isim (nama) menjadi makhfudh (rendah dan hina) adalah karena tunduk dan ikut-ikutan terhadap huruf khofad (faktor kerendahan). Atau dalam istilah nahwu lain, isim menjadimajrur (objek yang terseret-seret/mengikuti arus) karena disebabkan mengikuti huruf jar (faktor yang menyeret-menyeretnya) . Karena itu, hendaknya ummat Islam selalu menjadi ikan hidup di tengah samudera. Meskipun air samudera terasa asin, namun sang ikan hidup tetap terasa tawar. Sebaliknya, jika ummat ini bagaikan ikan mati, maka ia dapat diperbuat apa saja sesuai keinginan orang lain. Bila diberi garam ia akan menjadi ikan asin dan lain sebagainya.

Berusahalah, Maka Jalan Akan Terbuka
Dalam kaidah ilmu nahwu, di antara tanda nashob adalah fathah. Secara lafdziah, kata nashob bermakna bekerja dan berpayah-payah. Sedang kata fathah bermakna terbuka. Dalam hal ini, maka mereka yang mau bekerja dan berupaya serta berpayah-payah (nashob) dalam usaha, maka mereka akan mendapatkan jalan yang terbuka (fathah). Sesulit apapun problem yang dihadapi, jika berusaha dan berpayah-payah untuk mengatasinya, maka insya Allah akan menemukan jalan keluarnya. Oleh karena itu Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang berbuat di antara kalian dari laki-laki dan wanita. (Ali Imran: 195). Dalam Kitab Diwan As-Syafi’i. Imam Syafi’i pernah menulis bait syair sebagai berikut:
سافر تجد عوضا عمن تفارقه # وانصب فان لذيذ العيش فى النصب
اني رأيت وقوف الماء يفسده # ان سال طاب وان لم يجر لم يطب
Pergilah bermusafir, maka anda akan dapatkan pengganti orang yang anda tinggalkan
Bersusah payahlah !, karena kenikmatan hidup ini didapat dengan bersusah payah (nashob).
Sungguh aku menyaksikan mandeg-nya air dapat merusakkan dirinya
Namun bila ia mengalir ia menjadi baik. Dan jika menggenang ia jadi tidak baik.


Dalam bait syair ini, Imam Syafi’i ingin menegaskan, bahwa orang yang berpangku tangan dan tidak mau bekerja keras akan menjadi rusak, bagaikan rusaknya air yang tergenang sehingga menjadi comberan yang kotor dan bau. Sebaliknya, bila ia mau bersusah payah dan bergerak maka ia bagaikan air jernih yang mengalir. Indahnya kenikmatan hidup ini terletak pada bersusah payah.
Bahkan al-Quran mengisyaratkan kepada kita untuk tidak berpangku tangan di tengah waktu-waktu senggang kita. Bila usai melakukan satu pekerjaan, cepatlah melakukan hal lain. Firman Allah SWT:
فاذا فرغت فانصب
“Dan jika kamu selesai (melakukan tugas), maka lakukanlah tugas lain (nashob)” (Al Insyiroh: 7).

Kepastian Akan Menimbulkan Rasa Tenang
Kaidah lain yang terdapat dalam ilmu nahwu adalah, bahwa di antara tanda jazm adalah sukun. Secara lafdziah, katajazm bermakna kepastian. Sedang kata sukun berarti ketenangan. Ini mengajarkan kepada kita, bahwa kepastian (jazm) akan melahirkan rasa ketenangan (sukun). Orang yang tidak mendapatkan kepastian dalam suatu urusan biasanya akan merasakan kegelisahan. Sebagai contoh seorang remaja yang ingin melamar seorang gadis kemudian tidak mendapatkan kepastian, dia akan mengalami kegelisahan. Demikian juga orang yang hidupnya sendiri, ia tidak mendapatkan ketenangan. Oleh karena itu Allah SWT mengisyaratkan kita agar mempunyai teman pendamping dalam hidup ini agar mendapat ketenangan. Firman Allah SWT:
ومن آياته ان خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا اليها
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah Ia menjadikan bagimu pasangan dari jenismu (manusia) agar kalian merasa tenteram kepadanya” (Ar Rum: 21).


Wallahu’alam